Sabtu, 27 November 2010

Harry Darsono, Haute Couture Dan Kepompong Ulat Sutra

Siapa yang tidak mengenal Harry Darsono seorang public figure yang berkiprah di dunia designer yang karya-karyanya digunakan oleh para pesohor dunia seperti Lady Diana ibu dari pangeran Kerajaan Inggris, William, juga stage costumes dalam teater kolosal William Shakespeare sepeti Othelo & Hamlet, Julius Caesar, Kinglear, Romeo & Juliet, dll, di Eropa dan Indonesia.

Harry kecil yang empat kali dikeluarkan dari empat sekolah yang berbeda di Surabaya karena ketika itu umurnya 9 tahun tiba-tiba bisu sehingga tidak bisa berkomunikasi. Caranya berkomunikasi dengan orang lain yaitu dengan menggambar.

Harry tidak sekadar bisu tapi juga sebagai anak ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder yaitu gangguan perkembangan dalam peningkatan aktifitas motorik anak-anak hingga menyebabkan aktifitas yang tidak lazim dan cenderung berlebihan. Hal ini ditandai dengan berbagai keluhan perasaan gelisah, tidak bisa diam, tidak bisa duduk dengan tenang, suka meletup-letup, aktifitas berlebihan, dan suka membuat keributan). Karena itu, orang tuanya mengirim Harry ke Perancis dan belajar di sekolah khusus.

Satu hal yang paling berkesan bagi Harry sebagai gerbang untuk menjadi seorang designer adalah ketika salah seorang terapis saat itu meletakkan kepompong ulat sutera di telapak tangannya, dan Harry terdiam selama empat menit, waktu yang lama bagi dirinya untuk tertegun.

Di sekolah itu pun ia diajari memintal kepompong ulat sutera menjadi benang dan menenunnya menjadi kain serta menjahitnya. Kegiatan memintal, menenun dan menjahit merupakan salah satu bentuk terapi bagi anak ADHD, pasalnya menurut Harry, dengan kegiatan-kegiatan tersebut dirinya dipaksa belajar konsentrasi. Selain itu, Harry belajar music seperti Piano, Harpa, melukis, juga menari. Harry bisa bicara kembali setelah 14 tahun melakukan terapi wicara.

Sejak 1974, ia menjadi seorang Haute Couture Designer dan seniman tekstil. Tidak sedikit masterpiece-nya yang monumental menjadi warisan fashion dunia. Ia menyelesaikan program Doktoralnya di Ecole Des Beaux Arts di Paris, Perancis dengan gelar Dr. PhD. Karena ibunya menginginkan salah seorang anaknya dari 8 anak untuk menjadi guru, Harry pun menjadi dosen di Swiss German University, Jakarta. ***

Perjuangan Seorang Ibu demi Seorang Anak Autis

Pada mulanya kehidupan keluarga Margret dan suaminya Thorsteinn berjalan seperti keluarga pada umumnya dengan memiliki dua anak laki-laki Unnar dan Erik. Margret bertahun-tahun bekerja di perusahaan dengan karir yang sangat berhasil sampai menduduki berbagai posisi eksekutif di perusahaan di Islandia. Seorang ibu yang bernama lengkap Margret Dagmar Ericsdottir ini lulusan Institute of Technology Florida dengan gelar MBA jurusan Bisnis. Meskipun ia seorang wanita karir tapi masih bisa sempat untuk memperhatikan anak-anaknya.

Kebahagiaannya bertambah ketika anak laki-laki ketiganya lahir pada tahun 1997, Keli. Namun, kebahagiaan keluarganya tidak berlangsung lama, Margret melihat ada sesuatu yang tidak baik yang terjadi pada anak ketiganya. Bak mendengar petir di siang bolong, Margret hampir tidak bisa menerima kenyataan ketika Keli didiagnosa sebagai anak dengan autis pada usia empat tahun. Hati ibu yang mana yang bisa menerima kenyataan ini. Namun, apa pun yang terjadi, Margret harus menerima kenyataan pahit ini, takdir ini tidak bisa ia pungkiri dan bukan untuk lari dari kenyataan.

Sejak mengetahui anak termudanya hidup dengan autis, Margret seketika langsung memutuskan untuk berhenti bekerja. Ia meninggalkan semua karir yang telah ia rintis bertahun-tahun hingga mencapai posisi puncaknya untuk memilih focus mengurus dan merawat Keli. Rasa sayangnya terhadap Keli melebihi kepada kedua kakaknya.

Margret mendedikasikan waktu dan kesungguhannya untuk mencari informasi bagaimana metode untuk merawat anak dengan autis. Dengan harapan bisa memberikan kehidupan yang terbaik bagi anaknya.

Margret yang berkebangsaan Islandia ini telah mencoba berbagai macam cara dan metode untuk melakukan perawatan yang terbaik bagi anaknya hingga ia pergi ke Amerika dan bertemu dengan banyak dokter, spesialis, para ahli di sana. Ia berjuang untuk mencari tahu bagaimana seharusnya memperlakukan anaknya yang hidup dengan autis. Baginya, misteri dan kondisi kompleks mengenai autis harus dipecahkan.

Pada akhirnya, kebulatan tekadnya untuk membantu Keli dan keluarga lain yang memiliki anak dengan autis menjadikannya inspirasi untuk membuat film documenter tentang autisme.

Pada tahun 2006 Margret menemukan Frontier Filmworks, sebuah perusahaan film di islandia yang berhasil membuat film yang dapat menciptakan kenyataan dan abadi yang berbeda di dunia kita. Film yang menggambarkan pengalamannya sebagai ibu dari anak dengan autis, Margret melihat ke dunia luar untuk menyampaikan pengalamannya mengenai autisme, agar orang lain dapat melakukan seperti dirinya yang memiliki anak dengan autis. Film documenter ini berjudul ‘A Mother’s Courage: Talking Back to Autism’ ini diambil dari jurnal luar biasa yang mengeksplorasi tentang autisme dan memberikan harapan penuh akan kesadaran untuk membantu atas syndrome ini.

Berawal dari film documenter inilah ia dan Kate Winslet mendirikan yayasan The Golden Hat. Sebuah organisasi nirlaba yang mendidikasikan untuk mencoba menghilangkan rintangan bagi masyarakat dengan autisme di seluruh dunia. Nama yayasan tersebut diambil dari judul puisi Keli.***

Keseriusan Pemerintah Obama Menangani Autisme

Sesuai dengan janji kampanyenya, Presiden Amerika Serikat Barrack Obama, meminta US $ 211 juta sebagai bagian dari anggaran Depertemen Kesehatan dan Pelayanan Kemanusiaan (U.S. Department of Health & Human Services) untuk penelitian autisme dan pelayanan. Diharapkan, sebagian besar penelitian diarahkan terhadap penelitian lingkungan, termasuk kemungkinan membuat vaksin penyebabnya, dan untuk perawatan.

Memang pernah ada penelitian yang mengidentifikasi autisme disebabkan factor genetik oleh Teresa Binstock pada tahun 1999 telah mengabaikan komponen lingkungan dari penyebab autisme yang dirujuk pada beberapa kesempatan oleh Simon Baron Cohen. Gagasan bahwa kondisi kompleks ini sepenuhnya genetik tidak pernah berdasarkan bukti. Diharapkan pendanaan yang disisihkan dari penelitian vaksin .

Sejak mengambil alih kepresidenan awal Januari ini, penyandang cacat dan gangguan lainnya telah menjadi prioritas penting dalam agenda presiden. Dalam agenda tertulis yang dikeluarkan bulan Januari lalu, empat diantaranya berkaitan dengan peningkatan jumlah diagnosa autisme.

Cukup beralasan memang, Obama meminta dana untuk penanganan autisme di AS meningkat, pasalnya pada tahun 2006 rata-rata 1 dari 110 anak di AS memiliki Autism Spectrum Disorders (ASD). Hal ini dilaporkan terjadi pada semua kelompok ras, etnis, dan social ekonomi, namun berada pada rata-rata 4 -5 kali lebih mungkin terjadi pada anak laki-laki dari pada anak perempuan.

Jika 4 juta anak lahir di Amerika Serikat setiap tahunnya, berarti sekitar 36.500 anak-anak akan didiagnosa dengan ASD. Dengan asumsi tingkat prevalensi telah tetap selama dua dekade terakhir, dapat diperkirakan bahwa sekitar 730 ribu orang antara usia 0 -21 tahun memiliki ASD.

Studi di Asia, Eropa dan Amerika Utara telah mengidentifikasi individu dengan ASD dengan perkiraan prevalensi 0.6 persen menjadi lebih dari 1 persen, dan sekitar 13 persen anak memiliki cacat perkembangan, mulai dari ringan seperti gangguan bicara dan bahasa hingga serius seperti cacat intelektual, cerebral palsy, dan autisme.

Faktor Risiko dan Karakteristik
Berdasarkan penelitian telah menunjukkan bahwa dikalangan kembar identik, jika seorang anak memiliki ASD, kemudian yang lain akan terpengaruh 60-96%. Pada kembar non-identik, jika seorang anak memiliki ASD, kemudian yang lain dipengaruhi sekitar 0-24%.
Begitu pula, orang tua yang memiliki anak dengan ASD punya kesempatan 2% -8% dari memiliki anak kedua yang juga terpengaruh.

Diperkirakan bahwa sekitar 10% anak dengan ASD memiliki genetik diidentifikasi, neurologis atau gangguan metabolisme, seperti sindrom Down. Ketika kita belajar lebih banyak tentang genetika, jumlah anak dengan ASD dan kondisi genetik diidentifikasi kemungkinan akan meningkat. Sebuah laporan yang diterbitkan oleh CDC pada tahun 2009, menunjukkan bahwa 30-51% (41% rata-rata) dari anak-anak yang memiliki ASD juga memiliki Cacat Intelektual (intelligence quotient <= 70).
Intelligence quotient (IQ) anak usia 8 tahun dengan gangguan spektrum autisme (ASD) untuk siapa data uji psikometri yang tersedia, oleh situs dan seks (IQ) skor-autism dan Perkembangan Jaringan Monitoring Penyandang Cacat, 11 situs, Amerika Serikat, 2006


Biaya Ekonomi
Penelitian terbaru di AS, memperkirakan bahwa biaya seumur hidup untuk merawat seorang individu dengan ASD adalah $ 3,2 juta.

Meskipun autisme biasanya dianggap sebagai gangguan dari masa kanak-kanak, biaya dapat dirasakan dengan ketika menjadi dewasa. Biaya besar yang dihasilkan dari layanan dewasa dan kehilangan produktivitas baik individu dengan autisme dan orang tua mereka memiliki implikasi penting bagi para anggota umur generasi ledakan bayi mendekati pensiun, termasuk beban keuangan yang besar mempengaruhi tidak hanya keluarga tetapi juga berpotensi masyarakat pada umumnya. Hasil ini mungkin berarti bahwa dokter dan profesional kesehatan lainnya harus mempertimbangkan merekomendasikan bahwa orang tua dari anak autis mencari konseling keuangan untuk membantu merencanakan transisi ke dewasa.

Memang, autisme adalah gangguan kesehatan yang sangat mahal biaya di AS hingga US $ 35 miliar biaya langsung (baik medis dan nonmedis) dan biaya tidak langsung untuk merawat semua individu yang didiagnosis setiap tahun selama hidupnya. Biaya finansial dan non finansial yang hadapi dan pilihan semakin lebih diberikan untuk pengobatan dan mungkin untuk pencegahan, informasi mengenai distribusi biaya yang dibutuhkan untuk membantu memutuskan cara terbaik dalam mengalokasikan sumber daya yang langka untuk mendukung individu dengan autisme dan keluarga mereka.

Dan di Indonesia belum terlihat keseriusan pemerintah dalam menangani persoalan anak berkebutuhan khusus, terutama dalam penelitian dan perawatan bagi mereka.

Sumber: http://www.hhs.gov; & www.cdc.gov

Menjadi Jenius Cara Instan?

Tidak hanya kopi dan mie saja yang instant tapi otak anak menjadi jenius pun kini dilakukan secara instan. Caranya tinggal aktivasi otak tengah. Jika midbrain telah diaktifkan, daya ingat anak-anak dapat meningkat, daya konsentrasi membaik, kreatifitas bertambah, gerakan kinetic juga menjadi lebih baik, hormon menjadi seimbang, emosi menjadi stabil, demikian menurut pengakuan GMC, Genius Mind Consultancy, dalam websitenya.

Menurut penjelasan para ahli, lanjutnya, setelah midbrain diaktifkan, maka ia akan mengeluarkan gelombang otak untuk meresakan dan bereaksi terhadap benda-benda di luar. Anak bisa membaca, menebak warna, mewarnai gambar, meskipun mata mereka ditutup (blind fold).

Masih menurut GMC, dalam waktu singkat, dua hari saja aktivasi otak tengah anak bisa dilakukan. Setelah itu mereka bisa ditest dengan membaca secara blind fold. Menurut GMC, memang sangat instant membentuk otak anak menjadi jenius. Setelah otak tengah diaktivasi, maka kemampuan anak akan meningkat. Meningkatkan konsentrasi, daya ingat, kreativitas, daya paham, talenta, menyeimbangkan hormon, membentuk karakter positif, menstabilkan emosi, beraktifitas dengan mata tertutup (blind fold).

Bagaimana hal itu terjadi? Lanjut GMC, setelah midbrain diaktifkan, maka fungsi dari otak kanan dan otak kiri dapat berjalan secara seimbang. Otak kiri tidak lagi menekan otak kanan. Menurut pendapat GMC, bahwa otak tengah merupakan penghubung antara otak kanan dan otak kiri. Cara aktivasi otak tengah, anak diajak bermain-main, bersenang-senang sehingga santai, masuk ke gelombang alfa, kemudian mendengarkan gelombang suara mulai suara ombak sampai suara helikopter, sekitar 85 desibel, selama empat menit. Untuk stimulasi otak tengah, setelah aktif, diperlukan sebulan bimbingan orang tua di rumah, 15 menit setiap hari, untuk membuat otak tengah stabil dan terasah.

Namun, fungsi otak tengah menurut GMC berbeda dengan menurut ilmiah kedokteran. Misalnya saja menurut, pschycology.about.com, bahwa otak tengah adalah daerah terkecil dari otak yang bertindak sebagai semacam stasiun relay untuk informasi auditori dan visual. Dan midbrain ini bukan penghubung otak kiri dan kanan, melainkan penghubung otak bagian depan dan bagian belakang. Otak tengah mengendalikan berbagai fungsi penting seperti sistem visual dan pendengaran serta gerakan mata. Bagian dari otak tengah yang disebut nukleus merah dan nigra substantia terlibat dalam pengendalian gerakan tubuh.

Namun, sesederhana itukah untuk membuat anak menjadi jenius? Menurut Richard Haier dari Universitas California dan Irvineserta Rex Jung dari Universitas New Mexico, Amerika Serikat, para pakar ilmu syaraf ini menemukan bahwa kecerdasan tidak terpusat pada satu bagian tertentu otak, melainkan hasil interaksi antarbagian dari otak. Begitu pula menurut Dr. Sarlito Wirawan, Guru Besar Fakultas Psikologi UI, bahwa otak tengah tidak mengurusi intelegensi, emosi, apalagi aspek-aspek kepribadian lain seperti sikap, motivasi, dan minat.

Tingginya kecerdasaan seseorang, lanjutnya, karena makin bagusnya kinerja antarbagian otak, biasa disebut dengan teori parieto-frontal integration. Namun, pusat emosi terletak pada bagian otak yang bernama amygdale yang tidak ada hubungannya dengan midbrain.

Sementara itu, menurut Dwi Estiningsih, seorang psikolog dalam tulisannya, bahwa otak tengah bukan penghubung antara otak kiri dan kanan. Yang menjadi penghubung antara otak kiri dan kanan adalah corpus callosum.

Senada dengan Haier dan Jung pakar ilmu syaraf dari AS, Dwi menjelaskan berdasarkan penerlitian internasional bahwa otak tengah memunyai peranan dalam penyusunan memori yang baru bersama dengan organ hipokampus yang dirangsang oleh kadar dopamine otak. Artinya, pembelajaran tidak hanya melibatkan otak tertentu saja (otak tengah), tapi melibatkan hampir sebagian besar otak.

Baik Dr. Sarlito Wirawan maupun Dwi Estiningsih sependapat mempertanyakan dimana hubungan antara menggambar, membaca sambil mata tertutup (blind fold) dengan kejeniusan seseorang? Bagaimana membuktikannya, mengaktifasi otak tengah akan memicu gelombang alfa otak. Tanpa aktifasi pun gelombang ini akan muncul, jelas Estiningsih.

Jadi, apakah Einstein, Colombus, Thomas Edison, Bill Gates, Habibie, melakukan aktifasi otak tengah ketika masih anak-anak sehingga mereka menjadi orang-orang jenius?***